Di Sebuah Kafe, Hengelo ~ Juniarso Ridwan
Puisi Juniarso Ridwan
denting
gelas itu menyadarkan kami,
malam telah mengendap dalam aroma anggur,
masing-masing memberi tanda untuk berpisah,
tetapi mabuk itu telah menjadi perekat,
sedangkan bulan bermain-main di pelupuk mata.
malam telah mengendap dalam aroma anggur,
masing-masing memberi tanda untuk berpisah,
tetapi mabuk itu telah menjadi perekat,
sedangkan bulan bermain-main di pelupuk mata.
cakrawala
membentang di dahimu. Angin pun
memberi isyarat dengan pupur yang luntur dan
lelehan keringat. Sedangkan bayangan pertempuran
harus diakhiri dengan tarikan napas panjang dan
dada yang menggelepar. Dengan kaki panjangmu,
kaugoreskan gairahmu pada permukaan cermin,
hanya untuk sementara saja. Sambil menyongsong
musim semi, kaupermainkan saja jerawatmu, seperti
memungut ranjau di Sarajevo. Kemudian segera kau
merasa bosan mengukur panjang lidahku.
memberi isyarat dengan pupur yang luntur dan
lelehan keringat. Sedangkan bayangan pertempuran
harus diakhiri dengan tarikan napas panjang dan
dada yang menggelepar. Dengan kaki panjangmu,
kaugoreskan gairahmu pada permukaan cermin,
hanya untuk sementara saja. Sambil menyongsong
musim semi, kaupermainkan saja jerawatmu, seperti
memungut ranjau di Sarajevo. Kemudian segera kau
merasa bosan mengukur panjang lidahku.
kini tak
ada yang mesti dibanggakan. Kesetiaan?
katamu seperti mencicipi keju. Selalu berbeda rasa,
menurut selera dan cara. Kami tenggelam dalam
almanak masa lalu. Ingin merogoh rembulan
di langit mata masing-masing.
katamu seperti mencicipi keju. Selalu berbeda rasa,
menurut selera dan cara. Kami tenggelam dalam
almanak masa lalu. Ingin merogoh rembulan
di langit mata masing-masing.
Hengelo,
1999
Puisi Di Sebuah Kafe, Hengelo ~ Juniarso Ridwan Bersumber dari Media
Indonesia on-line (2/13/00)
Keyword:
Puisi Cinta, Puisi Perjuangan, Puisi Kesetiaan