Kumpulan Puisi Lucu, Satir, dan Parodi

Berikut ini adalah beberapa puisi yang kedengarannya lucu, tanpa bahasa yang muluk-muluk tetapi mengajak pembaca untuk merenung. Puisi puisi ini juga dikenal dengan puisi satiris, sindiran tapi dengan menggunakan bahasa sehari-hari. Ada juga yang menyebutnya puisi parodi, yang mengadirkan humor, tetapi tidak melulu mengajak kita tertawa, melainkan kadang tersenyum getir.

Puisi-puisi Beni Satrio

  
AKU PULANG MALAM INI
Bus-bus yang kosong. Angin menembus
bangku-bangku. Ku ingat lagi tubuh-
tubuh yang pernah duduk di sini.
Tersusun paralel menjadi sinyal
wifi.

BAKWAN
Sepasang terigu mulai berdoa.
Mereka menyiapkan bunga seledri
dan membereskan butiran garam.
Di atas dengkulku.
Senja akan menyalakan api. Swara
kita tak terdengar lagi. Hanya ada
maghrib dan remah bakwan yang karib.


  SUATU KALI DI RESTORAN
Kau bertanya banyak hal saat
kita mampir di restoran itu.
Ini apa? Lada. Ini? Garam dan
saus. Itu apa? Pisau dan garpu.
Itu?
Kau menunjuk sesuatu yang mengalir
dari kedua mataku yang hambar. Aku
menunjuk struk-struk yang terselip
di bawah mangkuk acar.
Itu apa? Harga yang harus kita bayar.

  
TELUR ASIN
Di pantura.
Air mata dan samudera
mesra berkawin.
Berbulan madu di cakrawala.
Menjadi sebutir telur asin.

SAPU LIDI
Sapu lidi yang kesepian.
Jauh dari cinta yang berdebu.
Kolam kering tanpa ikan.
O, aku tumpah kepadamu.

NYAMUK
Seekor nyamuk masuk ke dalam kuping.
Lalu, keluar lewat mulut.
Menjadi seekor anjing.

MALAM PERJUANGAN
Kejahatan sudah sedekat sinar rembulan.
Tercatat di selembar kertas gorengan.
“Seekor bakwan angslup ke dalam wajan!” kau berseru.
Tubuhnya kering penuh kecemasan.
Kelak, katamu, dari sana akan terdengar swara
yang lebih nyaring daripada letup senapan.

 BECAK
Di dalam mulutku ada becak menganggur.
Ia tak kuat di jalan menanjak,
dan mudah terjungkal di jalan menurun.
Di jalan datar,
ia sering hilang kendali.
KEPALA YANG TERBUAT DARI SEBUAH KULKAS
Kepalaku terbuat dari sebuah kulkas.
Setiap malam berbunyi.
Sekali dibuka, cuma ada sebutir telur.
Itupun tak pernah menetas.

DI DALAM KEPALAKU
Sungai-sungai menggenang.
Menggigil. Memeluk luka-
luka yang hidup.
Berdenyut dan menggetarkan.
Pinggiran wajan.

SENAYAN
Ku dengar lagi, suaramu yang empuk
dan merdu. Persis dengkul Brimob dan
ricik water canon di malam itu;
Di depan pagar Senayan
kala kita berbulan madu.

Tempat Kesedihan Perkara

Tubuhnya sudah kaku. Sebuah lubang besar di dadanya, mengeluarkan bau masa lalu. Aku bisa mengendus kepercumaan dari kepalanya yang mulai keabu-abuan dan membatu.
Lalu, kupasang garis puisi di situ.
Bertamu ke Kuburan Ayah
Aku bertamu ke kuburan ayah
Memohon doa restu
“Kemarin, kemiskinan datang ke rumah,” kataku
“Ia melamar ibu.”
Senjakala Puisi Senja
Terlalu banyak senja, membikin matanya rabun kata

Inkubus
Lelaki itu tak menjerit, meski tubuhnya digerogoti seekor cinta memahaduka yang giginya seruncing bambu cina.
Ia sudah menjahit hatinya dengan benang-benang puisi. Menahan sakit dengan rasa paling intisari dalam seember kukubima.
Dari Halte Transjakarta

Aku sedang menghayati kota dan manusia. Juga lampu-lampu neon yang bercahaya. Melintasi berabad-abad kesunyian sekuat tenaga.
Mengingat lagi beberapa nama -tak ada namamu di sana.
Seperti halnya mereka, aku tersesat entah di mana
Beni Satryo adalah alumnus Filsafat, UGM. Ia pernah menginisiasi pameran Patah Hati di Yogyakarta. Kini, ia tetap berkesenian di sela-sela kesibukannya sebagai wartawan pada salah satu media terkemuka Ibu Kota.
Tampilkan Komentar